Sejarah Pemberantasan Korupsi di Indonesia

Pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai usaha untuk memberantas tindak pidana korupsi dan menyelamatkan keuangan Negara. Berbagai produk perundang-undangan, lembaga dan tim khusus telah dibentuk oleh pemerintah guna memberantas tindak pidana korupsi sampai ke akar-akarnya demi menyelamatkan perekonomian dan keuangan Negara yang telah dimulai sejak Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini baru berdiri. Oleh karenanya untuk dapat memahami bagaimana upaya Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia secara utuh baik yang telah terjadi maupun pada masa sekarang (kontemporer) maka menjadi sebuah keharusan bagi kita untuk pula mengkaji secara historikal upaya pemberantasan korupsi dari fase ke fase perkembangan rezim yang penah berkuasa di Indonesia. Secara historikal kepemimpinan rezim yang pernah ada di Indonesia dapat diklasifikasikan dalam 3 (tiga) fase, yakni, Orde Lama, Orde Baru dan Fase Reformasi sampai sekarang. Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dari ketiga fase untuk dapat memahami lebih jelas sebagai berikut:
A.    PEMBERANTASAN KORUPSI PADA FASE ORDE LAMA
Sejarah Pemberantasan Korupsi telah dilaksanakan sejak pemerintahan Orde Lama, ketika usaha mengisi kemerdekaan, telah memperlihatkan gejala-gejala kearah penyelewengan yang merupakan perbuatan yang merugikan kekayaan dan perekonomian negara. Gejala seperti ini pada awalnya jelas kelihatan pada masa perjuangan fisik untuk mempertahankan republik yang baru diproklamasikan.[1]Pada masa itu istilah korupsi menjadi sangat terkenal dalam masyarakat, dan terasa sangat mencemaskan.
Ketentuan-ketentuan hukum yang ada dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak dapat berbuat banyak untuk memberantas gejala baru yang oleh masyarakat dinamakan korupsi dan ternyata dirasakan tidak efektif. Akibatnya banyak pelaku penyelewengan keuangan dan perekonomian negara yang tidak dapat diajukan ke pengadilan karena perbuatannya tidak memenuhi rumusan yang ada di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Bertolak dari kenyataan tersebut di atas, pada tanggal 9 April 1957, Kepala Staf Angkatan Darat, selaku penguasa militer pada waktu itu, mengeluarkan Peraturan No. Prt/PM-06/1957. Namun pada perkembangannya ternyata peraturan penguasa militer ini dirasakan belum cukup efektif, sehingga perlu dilengkapi dengan peraturan tentang pemilikan harta benda yang kemudian diatur dalam Peraturan Penguasa Militer No. Prt/PM-08/1957 tanggal 22 Mei 1957. Peraturan ini dimaksudkan untuk memperoleh hasil yang sebesar-besarnya bagi kepentingan negara dalam usahanya memberantas korupsi. Dengan peraturan ini penguasa militer berwenang mengadakan penilikan terhadap harta benda setiap orang atau badan dalam daerahnya, yang kekayaannya diperoleh secara mendadak dan sangat mencurigakan.[2]
Berlakunya Undang-undang No. 74 tahun 1957 Tentang Keadaan Bahaya pada tanggal 17 April 1958, menjadi dasar bagi Kabinet Djuanda pada masa Orde Lama untuk membentuk badan pemberantasan korupsi yang disebut sebagai Panitia Retooling Aparatur Negara (PARAN), badan ini dipimpin oleh A.H. Nasution dan dibantu oleh dua orang anggota yakni Profesor M.Yamin dan Roeslan Abdulgani.[3]Berlakunya Undang-undang No. 74 tahun 1957 Tentang Keadaan Bahaya kemudian membuat ketiga peraturan penguasa militer yang ada sebelumnya diganti dengan Peraturan Penguasa Perang Angkatan Darat No. Prt./Peperpu/013/1958 Tentang Pengusutan, Penuntutan Dan Pemerikasaan Perbuatan Korupsi Pidana dan Penilikan Harta Benda bagi wilayah yang dikuasai Angkatan Darat[4]dan bagi daerah-daerah yang berada dalam wilayah kekuasaan Angkatan Laut dibuat pula Perturan Penguasa Militer Angkatan Laut No. Prt/zl/17 tanggal 17 April 1958 (diumumkan dalam BN Nomor 42/58)[5].
Meski kedua peraturan penguasa perang tersebut dibuat agar dalam tempo yang singkat dapat dibongkar perbuatan-perbuatan korupsi yang pada saat itu sangat merajalela namun dalam tataran praktis Panitia Retooling Aparatur Negara (PARAN) banyak mendapat perlawanan dari para pejabat korup sehingganya tidak mampu berbuat banyak dan diserahkan kembali pelaksanaan tugas ke Kabinet Djuanda. Dalam rentang waktu dua tahun setelah peraturan penguasa perang pusat diberlakukan, pemerintah kemudian pada tanggal 9 Juni 1960 mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 24 Tahun 1960 Tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Pidana Korupsi, Lembaran Negara No. 72 Tahun 1960[6]dan pada tahun 1961 dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 1961, peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 24 Prp Tahun 1960 itu dikukuhkan status hukumnya menjadi Undang-Undang No. 24 Prp. Tahun 1960 Tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi, Lembaga Negara No. 72 Tahun 1960[7]. Bambang Poernomo[8]dalam hubungan itu mengatakan bahwa pembaharuan yang diadakan dalam substansi Undang-Undang No. 24 Prp Tahun 1960 telah memberikan petunjuk tentang betapa rumitnya pemberantasan kejahatan korupsi yang mempunyai pola perilaku terselubung, dan mempunyai sasaran dibidang politik, ekonomi, keuangan dan sosial budaya.
Kemudian pada tahun 1963 melalui Keputusan Presiden No. 275 Tahun 1963 dicanangkanlah apa yang disebut sebagai Operasi Budhi, dalam operasi ini pemerintah kembali menunjuk A.H. Nasution yang saat itu menjabat sebagai Menteri Koordinator Pertahanan dan Keamanan dan dibantu oleh Wiryono Prodjodikoro. Melalui Operasi Budhi pemerintah berharap pelaku korupsi dapat diseret kepengadilan utamanya pelaku korupsi dalam tubuh perusahaan-perusahaan serta Lembaga Negara lainya yang dianggap rawan praktek korupsi dan Kolusi.[9]Alasan politis menyebabkan kemandekan dan efektifitas dalam pelaksanaan Operasi Budhi, seperti pada pengusutan kasus Direktur Utama Pertamina yang kabur ke Luar Negeri dan Direksi Pertamina lainnya menolak untuk diperiksa dengan alasan belum adanya surat tugas dari atasan. Meski berhasil menyelamatkan keuangan negara mencapai lebih kurang Rp. 11 Miliar, Operasi Budhi kemudian dibubarkan melalui pengumuman yang dibacakan oleh Subandrio dan digantikan oleh Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi (KONTRAF) dengan presiden Soekarno sebaga ketua serta dibantu oleh Soebandrio dan Letjen Ahmad Yani.[10]
Meski telah beberapa kali diadakan pergantian peraturan perundang-undangan dan beberapa kali dibentuk Lembaga Pemberantasan Korupsi, namun selama kurun waktu antara tahun 1960-1970 perkembangan dan peningkatan potensi tindak pidana korupsi dirasakan terus berlangsung dengan hebat. [11]
B.     PEMBERANTASAN KORUPSI PADA MASA ORDE BARU
Pada masa awal Orde Baru, melalui pidato Kenegaraan dimuka anggota DPR/MPR pada tanggal 16 Agustus 1967, Soeharto terang-terangan mengkritik Orde Lama, yang tidak mampu memberantas korupsi dalam hubungan dengan Demokrasi yang terpusat ke Istana, pidato itu seakan memberi harapan besar seiring dengan dikeluarkannya Keppres No. 28 Tahun 1967 tentang Pembentukan Tim Pemberantasan Korupsi maka dibentuklah Tim Pemberantasan Korupsi (TPK), yang diketuai Jaksa Agung. Namun ternyata, ketidakseriusan Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) mulai dipertanyakan karena praktis Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) tidak melakukan apapun sebagaimana diharapkan. Perusahaan-perusahaan negara seperti Bulog, Pertamina, Departemen Kehutanan banyak disorot masyarakat karena dianggap sebagai sarang korupsi ditambah ketidak transparannya Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) ketika melakukan pemeriksaan terhadap Ibnu Sutowo Direktur Pertamina yang tidak pernah melaporkan laporan keuangan tahunan yang memicu berbagai bentuk protes dan demonstrasi mulai tahun 1969 dan puncaknya di tahun 1970.
Melihat kondisi yang terjadi, pemerintah kemudian malakukan kajian terhadap hambatan pelaksanaan pemberantasan korupsi dan berakhir pada kesimpulan bahwa penyebab terhambatnya upaya pemberantasan korupsi antara lain adalah karena ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan mengenai korupsi dirasakan kurang memadai untuk melakukan tindakan, baik secara represif maupun preventif, terutama mengenai rumusan tindak pidana korupsi yang ada dalam undang-undang yang mensyaratkan adanya pembuktian unsur melakukan kejahatan atau pelanggaran[12]sehingganya pemeritah memandang perlu mengadakan pembaharuan hukum pidana untuk mengganti Undang-Undang No. 24 Prp. Tahun 1960.
Untuk memenuhi maksud tersebut di atas, maka dengan Amanat Presiden No. R. 07/P.U/VIII/1970 tanggal 13 Agustus 1970, Pemerintah menyampaikan kepada dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR) sebuah rancangan undang-undang tersebut dimaksudkan untuk mencabut dan mengganti Undang- Undang No. 24 Prp. Tahun 1960 dengan suatu undang-undang korupsi yang baru. Setelah beberapa tahap pembahasan dalam persidangan di lembaga legislatif, akhirnya pada sidang pleno tanggal 12 Maret 1971 rancangan undang-undang tersebut di atas disetujui oleh DPRGR untuk ditetapkan menjadi undang-undang. Kemudian rancangan undang-undang tersebut disahkan oleh Presiden pada tanggal 29 Maret 1971 menjadi undang-undang, yaitu Undang- Undang No. 3 Tahun 1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1971 No. 19.
Berdasarkan Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Soeharto melalui kebijakannya menunjuk Komite 4 (empat) yang beranggotakan tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan berwibawa, seperti Prof. Johanes, I.J. Kasimo, Mr Wilopo, dan A. Tjokroaminoto, dimana mantan wakil presiden M. Hatta ditinjuk sebagai penasehat persiden, untuk melakukan tugas utama membersihkan Departemen Agama, Bulog, CV Waringin, PT. Mantrust, Telkom, Pertamina, dan lain-lain. Namun lemahnya posisi tawar Komite 4 (empat) membuat Komite ini tidak mampu berbuat banyak utamanya dalam penanganan kasus-kasus yang berkaitan dengan kepentingan pemerintah, sehingga ketika Laksamana Sudomo diangkat sebagai Pangkopkamtib, melalui inpres Nomor 9 Tahun 1977 tentang Operasi Penertiban pemerintah kemudian menganjurkan untuk membentuk Operasi Tertib dengan tugas antara lain memberantas korupsi. Perselisihan pendapat kemudian muncul utamanya mengenai metode pemberantasan korupsi yang bottom up atau top down dan cenderung semakin melemahkan pemberantasan korupsi, sehingga Operasi Tertib pun hilang seiring dengan makin menguatnya kedudukan para koruptor di singgasana Orde Baru.[13]
C.    PEMBERANTASAN KORUPSI PADA MASA REFORMASI.
Reformasi merupakan perubahan radikal guna mencapai perbaikan dalam masyarakat atau negara tanpa disertai cara-cara dan kondisi kekerasan.[14]Pemberantasan korupsi adalah salah satu agenda besar yang diperjuangan dalam gerakan reformasi sampai pada kemenangannya pada 20 Mei 1988. Di Era reformasi, usaha pemberantasan korupsi dimulai oleh B.J. Habibie dengan Ketetapan Mejelis Permusyawratan Rakyat (MPR) Nomor: XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi yang ditindak lanjuti dengan menetapkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme dan Kolusi, dan Nepotisme berikut pembentukan berbagai komisi atau badan baru, seperti Komisi Pengawas Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN), KPPU, atau Lembaga Ombudsman.
Kemudian melalui Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor VIII / MPR/ 2001 Tentang Rekomendasi Arah Kebijaksanaan Pemberantasaan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, secara khusus pemerintah menetapkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagai pengganti Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pemerintah juga mengeluarkan Inpres No.30 Tahun 1998 tentang Pembentukan Komisi Pemeriksa Harta Pejabat. Namun dengan seluruh perangkat aturan yang ada BJ Habibie gagal mengusut dengan cepet dugaan korupsi yang dilakukan Soeharto, Habibie tidak hanya tidak berhasil menyeret kasus Soeharto ke pengadilan justru menghentikan penyelidikan kasus tersebut.
Presiden berikutnya, Abdurrahman Wahid (Gusdur), segera setelah dilantik melalui Keppres No. 44 Tahun 2000 Tanggal 10 Maret 2000 membentuk lembaga Ombudsman dan berdasarkan Kesepakatan Letter of Intent (LOI) antara Pemerintah Republik Indonesia dengan IMF maka melalui Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000 dibentuklah Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK), namun, setalah melalui judicial review di Mahkamah Agung, Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi akhirnya dibubarkan karena dianggap tidak selaras dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999. Padahal Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 juga banyak menimbulkan permasalahan khususnya mengenai tidak adanya  Pasal yang mengatur tentang peraturan peralihan, sehingga pelaku korupsi pada Orde Baru, berdasarkan asas bahwa hukum tidak berlaku surut maka mereka tidak dapat dijerat dengan Pasal korupsi karena undang-undang sebelumnya yaitu Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 sudah dinyatakan tidak berlaku lagi.[15]
Reformasi yang terjadi di Indonesia pada 1998 telah mendorong munculnya berbagai macam perubahan dalam sistem ketatanegaraan, akibat adanya Perubahan Konstitusi Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD’45). Salah satu hasil dari perubahan dimaksud adalah beralihnya supremasi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) ke supremasi konstitusi[16]. Supremasi konstitusi memposisikan konstitusi sebagai hukum tertinggi yang mengatur dan membatasi kekuasaan lembaga-lembaga Negara. Perkembangan konsep trias politica juga turut memengaruhi perubahan struktur kelembaga karena dianggap tidak lagi relevan mengingat fakta bahwa tiga fungsi kekuasaan yang selama ini ada tidak mampu menanggung beban negara dalam menyelenggarakan pemerintahan. Hal ini kemudian mendorong negara membentuk jenis Lembaga Negara baru yang diharapkan dapat lebih responsif dalam mengatasi persoalan aktual negara dalam bentuk dewan, komisi, komite, badan, ataupun otorita, dengan masing-masing tugas dan wewenangnya.[17]
Salah satu lembaga baru yang dibentuk pada masa Pemerintahan Presiden Megawati adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sebelum dibentuknya KPK, pemerintah telah melakukan kajian secara mendalam terhadap Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 yang ternyata banyak mengandung kelemahan oleh karenanya kemudian diubah  dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Melalui undang-undang yang baru tersebut in casu Pasal 43, pemerintah diberikan amanat untuk membentuk Komisi Pemberantasan tindak Pidana Korupsi yang independent dengan tugas dan wewenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi.
Berdasarkan Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 (LNRI 2002-137. TNLRI 4250) tentang Pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dibentuklah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), namun di masa pemerintahan Megawati pula kita rnelihat dengan kasat mata wibawa hukum semakin merosot, di mana yang menonjol adalah otoritas kekuasaan. Lihat saja betapa mudahnya konglomerat bermasalah bisa mengecoh aparat hukum dengan alasan berobat ke luar negeri. Pemberian SP3 untuk Prajogo Pangestu, Marimutu Sinivasan, Sjamsul Nursalim, The Nien King, lolosnya Samadikun Hartono dari jeratan eksekusi putusan MA, pemberian fasilitas MSAA kepada konglomerat yang utangnya macet, menjadi bukti kuat bahwa elit pemerintahan tidak serius dalam upaya memberantas korupsi, Masyarakat menilai bahwa pemerintah masih memberi perlindungan kepada para pengusaha besar yang nota bene memberi andil bagi kebangkrutan perekonomian nasional[18];
 Ketika Pemerintahan berada dalam tampuk kekuasaan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla (SBY-JK), ekspektasi masyarakat akan pemberantasan korupsi di Indonesia kembali tinggi mengingat dalam visi-misinya, Presiden pertama yang dipilih langsung oleh rakyat ini berupaya “Menciptakan Kepastian Hukum, Peraturan Dan Rasa Aman Untuk Berusaha Dan Bekerja[19]. SBY-JK dalam program 100 (seratus) hari pertama kerja Kabinet Indonesia Bersatu mencanangkan pemberantasan korupsi secara spesifik merupakan satu dari tiga agenda besar dengan tema “Mewujudkan Indonesia yang Adil dan Demokratis”.[20]SBY-JK kemudian mengaktualisasikan  dukungannya melalui maklumatnya dalam Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tertanggal 9 Desember 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi guna membantu Komisi Pemberantasan Korupsi dalam penyelenggaraan laporan, pendaftaran, pengumuman dan pemeriksaan LHKPN (Laporan Harta Kekayaan Penyelenggaraan Negara).  Dalam Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 setidaknya terdapat 12 instruksi khusus dalam rangka percepatan pemberantasan korupsi yang ditujukan kepada menteri-menteri tertentu, Jaksa Agung, Kapolri, dan Gubernur serta Bupati/Walikota sesuai peran dan tanggung jawab masing-masing. Berdasarkan Inpres tersebut BAPPENAS (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional) kemudian mengeluarkan sebuah dokumen resmi rencana pemberantasan korupsi yang lebih sistematis yang diberi nama Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi (RAN PK) tahun 2004-2009. RAN PK ini menekankan pada tiga elemen : Pencegahan Korupsi, Represi Kasus-kasus Korupsi serta Monitoring dan Evaluasi keduanya, baik Pencegahan maupun Represi.[21]Untuk mewujudkan tujuan pembentukannya, maka strategi yang digunakan untuk memberantas tindak pidana korupsi haruslah tepat. Adapun strategi yang dimaksud adalah dilakukan dengan 3 (tiga) macam, yaitu:[22]
a.       Strategi persuasive, yaitu upaya menghilangkan penyebab korupsi dan peluang korupsi;
b.      Strategi detektif, yaitu menampilkan dan mengidentifikasi tindak pidana korupsi dalam waktu sesingkat mungkin;
c.       Strategi represif, yaitu upaya memproses tindak pidana korupsi yang telah diidentifikasi sebelumnya dengan cara melalui proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan putusan pengadilan.
Beberapa Departemen dan Non Departemen lain juga merespon Inpres tersebut, misalnya langkah Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaludin yang melakukan peninjauan langsung/inspeski mendadak (sidak) ke sejumlah Lembaga Pemasyarakatan dan melihat bagaimana sistem yang berlaku disana, khususnya yang berkaitan dengan penahanan para tersangka kasus korupsi kemudian Kejaksaan Agung Republik Indonesia, Abdul Rahman Saleh SH, mengeluarkan Surat Edaran Jaksa Agung RI No. 007 Tahun 2004 tentang Percepatan Proses Penanganan Perkara Korupsi di seluruh Indonesia yang meminta kepada Kejati dan Kejari di seluruh Indonesia untuk menuntaskan perkaraperkara korupsi dalam waktu 3 bulan, mengutamakan kasus korupsi yang mendapat perhatian masyarakat dan menjaga jaksa untuk menjaga integritas moralnya dalam menangani kasus korupsi.
Namun pemberantsan korupsi yang dilakukan tidak menunjukkan hasil yang memuaskan, mengingat tingkat korupsi Indonesia belum beranjak dari ranking bawah. Hasil survai Transparency Internationa[23]l mendudukkan Indonesia pada urutan ke-137 dari 145 negara yang dinilai, dengan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 2,0[24]dan negara paling terkorup di antara 12 negara Asia dengan nilai hampir menyentuh angka mutlak 10 dengan skor 9,25 (nilai 10 merupakan nilai tertinggi atau terkorup)[25]oleh karenanya tidak sampai satu tahun sejak Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 dikeluarkan, pemerintah kembali mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 11 Tahun 2005 tentang Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi disingkat (Timtas Tipikor). Tim Koordinasi Pemberantasan Korupsi merupakan lembaga pemerintah dalam menindak lanjuti kasus korupsi yang dibentuk dan bertanggung jawab secara langsung terhadap presiden berdasarkan Keppres No. 11 Tahun 2005 utamanya dalam penyelesaian 21 kasus korupsi termasuk kasus “big fish” yang melibatkan elit politik dalam lingkaran SBY. Tim Koordinasi Pemberantasan Korupsi ini keanggotaanya terdari dari 48 orang Kejaksaan Republik Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan. Pemerintah juga meratifikasi United Nations Convention Againts Corruption (Konvensi Persirakatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, UNCAC) 2003 melalui Undang-undang No. 7 Tahun 2006 (Lembaran Negara Tahun 2006 No. 32, Tambahan Lembaran Negara 4620).
Progres yang ditunjukan cukup signifikan dimana dalam kurun waktu dua tahun Timtas Tipikor telah menangani sebanyak 72 perkara yang terdiri dari tujuh perkara telah diputus, upaya hukum naik banding maupun kasasi sebanyak dua perkara, di tingkat penuntutan ada 11 perkara, tingkat penyidikan 13 perkara, dan di tingkat penyelidikan ada 39 kasus diantaranya yang menyangkut jajaran direksi bank, dan menteri agama. Selain itu, ada kasus yang diserahkan ke Kementerian Sekretariat Negara sebanyak 45 kasus dan ke Kementerian BUMN sebanyak dua kasus serta laporan masyarakat ada 233 kasus. Sedangkan laporan masyarakat yang ditangani oleh Kejati dan Kapolda di bawah supervisi Timtas Tipikor adalah satu perkara sudah dieksekusi, di tingkat upaya hukum 15 perkara, tingkat penuntutan 25 perkara, di tingkat penyidikan 26 kasus dan penyelidikan 141 kasus, sehingga jumlahnya 208 kasus yang ditangani di tingkat daerah. Sementara itu, selama dua tahun menjalankan tugasnya, Timtas Tipikor mengkalim telah menyelamatkan keuangan negara di pusat sebesar Rp 3,946 triliun dan keuangan/aset negara di daerah sebesar Rp 4,105 miliar. Jumlah keungan negara yang diselamatkan seluruhnya adalah Rp 3,950 triliun. Sedangkan dari alokasi anggaran untuk Timtas Tipikor sebesar Rp 41.200.860.000, yang diserap adalah Rp 25.008.427.587 atau sebesar 60,6 persen.
Meskipun mampu membawa perubahan, ’keberhasilan’ Timtas Tipikor ternyata menghadapi banyak tantangan, di antaranya: Pertama, independensi Timtas Tipikor terhadap intervensi politis dan konflik kepentingan di kalangan eksekutif. Walaupun secara terbuka saat dilantik sebagai Ketua Timtas Tipikor, Hendarman Supanji mengatakan bahwa Presiden mendukung sepenuhnya penyelidikan dan penyidikan korupsi, independensi dan keberanian Timtas Tipikor masih harus ditunggu. Apalagi dalam dua kasus dugaan korupsi besar, yaitu Bank Mandiri dan PLN, menyeret sejumlah tersangka yang memiliki keterkaitan dengan pejabat tinggi. Konflik kepentingan di pucuk pimpinan eksekutif bisa menghentikan kasusi. Kedua, Timtas Tipikor juga terhambat oleh rendahnya kinerja penyidik. Ketiga, korupsi di peradilan atau mafia peradilan juga turut menghambat keberhasilan Timtas Tipikor. Seperti terjadi dalam kasus Abdullah Puteh yang ditangani oleh KPK, Addullah Puteh diduga terlibat dalam transaksi pembelian helikopter dari Rusia (Mi-2) dengan kerugian negara sekitar Rp 10 miliar dan juga terlibat dalam dugaan korupsi di balik pembelian genset listrik senilai Rp 30 milyar[26]dan telah divonis bersalah pada pengadilan tingkat pertama justru bisa bebas dengan alasan sakit. Belakangan KPK berhasil menangkap basah upaya penyuapan yang dilakukan oleh salah seorang pengacara Abdullah Puteh. Oleh karenanya keberadaan Tim Koordinasi Pemberantasan Korupsi dinilai tidak lagi relevan untuk dipertahankan, maka dengan dalil tidak efektif dan tegas serta kewenangannya tumpang tindih dengan lambaga pemerintah lainnya seperti kepolisian, kejaksaan dan KPK pemerintah kemudian mengeluarkan Keppres No. 10 Tahun 2007 tentang Pengakhiran Tugas Dan Pembubaran Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Korupsi.
Pada bulan Mei 2011 Preseiden SBY memaklumatkan Inpres No. 9 Tahun 2011 Tentang Rencana Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Tahun 2011 yang dilanjutkan dengan Inpres No. 17 Tahun 2011 Tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Tahun 2012. Melalui kedua Inpres ini, fokus utama dalam aksi adalah pencegahan korupsi pada lembaga penegak hukum, hal ini dilakukan dengan menungkatkan akuntabilitas, keterbukaan informasi, kapasitas dan pembinaan sumber daya manusia serta koordinasi antar lembaga. Keseriusan dalam pemberantasan korupsi juga ditunjukan oleh KPK, secara internal organisasional, KPK telah menyusun Road Map KPK dalam Pemberantasan Korupsi di Indonesia Tahun 2011-2023. Hal ini dilakukan untuk menjadi kesinambungan dan memberikan arah serta ispirasi bagi keberlangsungan pemberantasan korupsi mengingat dokumen perencanaan yang selama ini ada hanya mencakup strategi jangka pendek dan menengah.
Kemudian dalam rangka mempercepat pemberantasan korupsi pada 23 Mei 2012 kembali dikeluarkan Peraturan Presiden No. 55 Tahun 2012 Tentang Strategi Nasional Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Jangka Pangjang Tahun 2012-2025 dan Jangka Menengah Tahun 2012-2014 dengan visi dan misi terwujudnya kehidupan bangsa dan tata pemerintahan yang bersih dari korupsi. Untuk mengimplementasikan visi dan misi dimaksud maka dalam Peraturan Presiden No. 55 Tahun 2012 telah disusun 6 (enam) strategi yakni, (1). Melaksanakan upaya-upaya pencegahan, (2). Melaksanakan langkah-langkah strategis dibidang penegakan hukum, (3). Melaksanakan upaya-upaya harmonisasi penyusunan peraturan perundang-undangan pemberantasan korupsi dan sektor lain, (4). Melaksanakan kerja sama internasional dan penyelamatan aset hasil tipior, (5). Meningkatkan pendidikan dan budaya anti korupsi dan (6) Melaksanakan koordinasi dalam rangka mekanisme pelaporan pelaksanaan upaya pemberantasan korupsi.
Selajutnya dalam upaya pelaksanaan pencegahan dan pemberantasan korupsi sebagaimana diamanatkan dalam Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2012 khususnya menyangkut strategi pertama, melalui maklumat dalam Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Aksi Pencegahan Dan Pemberantasan Korupsi Tahun 2013 pemerintah mengintruksikan kepada Para Menteri Kabinet Indonesia Bersatu II, Sekretaris Kabinet, JaksaAgung,  Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kepala Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan, Para Kepala Lembaga Pemerintah Non Kementerian, Para Sekretaris Jenderal pada Lembaga Tinggi Negara, Para Gubernur dan  Para Bupati/Walikota yang pada pokoknya harus bahu membahu dalam upaya pelaksanaan pencegahan dan pemberantasan korupsi.



[1] Sudarto, Pemberantasan Korupsi, sinar grafika hal. 127.
[2]Konsideran Peraturan Penguasa Militer itu pada bagian menimbang, menegaskan bahwa dengan tidak adanya kelancaran dalam usaha-usaha memberantas perbuatan-perbuatan yang merugikan keuangan dan perekonomian negara yang oleh khalayak ramai dinamakan korupsi, perlu segera menetapkan suatu tata kerja untuk dapat menerobos kemacetan dalam usaha memberantas korupsi………dan seterusnya.
[3] Prinst Darwan. 2002. Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm 11.
[4] Darwan Prinst, op.cit, halaman 10-11
[5] Jur. Andi Hamzah, Pemerantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasioanal. Penerbit PT Raja Grafindo Persada, Jakarta 2005
[6] Martiman Prodjohamidjojo, Pemberantasan Korupsi di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hal 15
[7] Evi Hartanti, Korupsi dan Perkembangannya, (Jakarta: Bina Aksara, 2007), hal 22-23
[8] Bambang Poernomo, Pertumbuhan Hukum Penyimpangan Di Luar Kodifikasi Hukum Pidana, (Jakarta: Bina Aksara, 1984), hal. 65.
[9] Prinst Darwan. 2002. Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm 11
[10] Prinst, Darwan. Ibid, 2002 hlm 12
[11] Bohari. 2001. Jejak Pemberantasan Korupsi Di Indonesia. . Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm 9
[12] Tentang kurang memadainya ketentuan undang-undang No. 24 Prp Tahun 1960 sebagai sarana untuk pemberantasan tindak pidana korupsi tercermin dari adanya pengakuan legalitas sebagaimana dapat dilihat lebih lanjut dalam penjelasan Umum UUPTPK 1971.
[13]Prinst, Darwan. Ibid, 2002 hlm 13
[14]Laica Marzuki, Berjalan-jalan di Ranah Hukum, Pikiran-pikiran Lepas, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), hal. 3.
[15] Nyoman Serikat Putra Jaya, Tindak Pidana Korupsi, Kolusi dan Nepotisme di Indonesia, (Semarang: Badan Penerbit UNDIP, 2005), hal. 75.
[16] Muslim, Mahmuddin ; Mahbub, Agus Sahlan ; Erwin, Ahmad Yulden [ed.]. 2004.  Jalan Panjang Menuju KPTK.  Jakarta: Gerak Indonesia dan Yayasan Tifa.
[17] Prinst, Darwan. Ibid, 2002 hlm16
[19] Visi dan Misi Pemerintahan SBY-JK, dalam Profil Menteri-menteri Kainet Indonesia Bersatu, Media Presindo, Yogyakarta, 2004, hal. 78.
[20] Lihat Agenda 100 Hari Pertama Kabinet Indonesia Bersatu, hal.7
[21] 1 Lihat Pidato Kepala Bappenas, Sri Mulyani Indrawati, Basic Rights Approach to Poverty Reduction and Bureaucracy Reform in Indonesia, pada Sessi II : “Poverty Reduction and Governance Reform”, the CGI Meeting, di Jakarta pada 20 January, 2005, hal. 8
[22] Nyoman Serikat Putra Jaya, Bahan Kuliah Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System), (Semarang: Program Magister Ilmu Hukum, 2008), hal. 50.
[23] Transparency International (TI) adalah organisasi internasional yang bertujuan memerangi korupsi politik dan didirikan di Jerman sebagai organisasi nirlaba se-karang menjadi organisasi non-pemerintah yang bergerak menuju organisasi yang demokratik.
[24] Lihat Suryanto, Tantangan Besar Pemberantasan Korupsi, Hal 7
[25] Political & Economic Risk Consultancy-PERC. 2006. “Corruption in Asia.” Asian Intelligence. Hong Kong.
[26]http://www.suarapembaruan.co.id/News/2004/12/08/Utama/ut01.htm, di akses 21 Maret 2015

Comments

Popular posts from this blog

Tugas UAS EAI_4117005_Nila Rahmawati_E

MAKALAH IoT (Internet of Things) Kualitas Udara (Karbon dioksida, Metana, Karbon monoksida)